Minggu, 27 Desember 2009

KIAMAT MEMANG SUDAH DEKAT


Sudah sejak lama saya hafal dengan istilah greenhouse effect, global warming, dan climate change. Wajar saja, karena istilah-istilah itu bukan sesuatu yang baru. Bahkan, greenhouse effect atau efek rumah kaca sudah dipopulerkan Jean Baptiste Joseph Fourier pada 1824, seorang pakar matematika dan fisika asal Prancis, hampir dua abad silam.

Kendati demikian, tak sedikit pun saya tertarik untuk mengetahui maksud istilah-istilah itu. Menurut saya, semuanya sulit dipahami dari sisi makna, tak membumi, dan tak akan bisa dicerna dengan cepat. Namun, semuanya berubah ketika saya menyaksikan film dokumenter berjudul An Inconvenient Truth (2006).

Film yang disutradarai Davis Guggenheim ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai kampanye mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Albert Arnold Gore Jr. akan bahaya pemanasan global. Al Gore pun tak sendiri, karena di film ini dia membawa lembaga panel iklim bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Berdasarkan kajian IPCC, tanpa ada upaya dari masyarakat dunia dalam mengurangi emisi, diperkirakan 75-250 juta penduduk di berbagai wilayah benua Afrika akan menghadapi kelangkaan pasokan air pada 2020. Sementara itu, kelaparan akan meluas di Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Dari caranya memaparkan masalah, Al Gore berhasil membuat saya bergidik membayangkan nasib bumi di masa depan.

Untuk wilayah Indonesia IPCC juga menyebutkan akan menghadapi risiko besar. Pada 2030, diprediksi akan terjadi kenaikan permukaan air laut 8-29 sentimeter. Ini artinya, Indonesia dikhawatirkan akan kehilangan sekitar 2.000 pulau kecil. Penduduk Jakarta dan kota-kota di pesisir akan kekurangan air bersih. Pada sejumlah daerah aliran sungai akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang kian tajam. Akibatnya, akan sering terjadi banjir sekaligus kekeringan yang mencekik kehidupan.

Tampil di sepanjang film yang berdurasi 100 menit ini, Al Gore menyajikan isu lingkungan hidup dengan gurih dan mudah dicerna orang awam. Karena cara penyampaiannya, topik tentang pemanasan global sudah tidak membosankan bagi saya. Apalagi belakangan saya tahu kalau dia sebenarnya telah menohok bangsanya sendiri. Seperti kita ketahui, AS adalah negara yang berkontribusi paling besar merusak alam. Tak kurang dari 25 persen produksi karbondioksida dunia berasal dari negara adikuasa ini.

Karena dinilai telah mencerahkan pemikiran serta memunculkan wacana tentang bahaya pemanasan global, film ini menuai banyak pujian. Ajang Academy Awards 2007 misalnya, mengganjar dengan predikat Film Dokumenter Terbaik. Film ini juga bersinar di Festival Film Cannes dan meraih 21 penghargaan bergengsi lain di berbagai ajang. Dan, puncaknya, Al Gore dan IPCC dianugerahi Nobel Perdamaian 2007.

Pemahaman saya tentang pemanasan global bertambah lagi saat mendapatkan kepingan DVD berupa film dokumenter berjudul The 11th Hour (2007). Film ini menyimpulkan bahwa manusia kini tengah berada di menit-menit terakhir dari jam terakhir hidupnya jika tak berbuat sesuatu untuk mencegah pemanasan global. “Pemanasan global merupakan sebuah kenyataan. Itu akan terjadi,” ungkap Leonardo DiCaprio yang menjadi narator film ini.

Sederetan ilmuwan dan tokoh dunia ikut berbicara dalam film besutan Nadia Conners dan Leila Conners Petersen ini, seperti Stephen Hawking dan Mikhail Gorbachev. Mereka memperkirakan titik akhir dari perubahan ekstrim iklim adalah punahnya umat manusia. Namun, mereka juga memberikan beberapa contoh hal yang dapat dilakukan untuk menghindari hal tersebut. Mulai dari perubahan sederhana bola lampu listrik hingga memilih pemimpin yang berwawasan lingkungan serta produk yang tak merusak lingkungan.

Sulit untuk mengatakan The 11th Hour adalah film yang enak ditonton. Sebaliknya, film ini sangat membosankan jika kita tak peduli betul soal pemanasan global. Terlalu banyak komentar para tokoh dan narasi serta kurang menarik secara visual adalah gambaran akan film ini. Namun, secara keseluruhan tetap menggambarkan hasil akhir yang menyeramkan dari dampak perubahan iklim.

Masih di tahun yang sama, dirilis lagi sebuah film dokumenter berjudul Earth (2007). Film besutan sutradara Alastair Fothergill dan Mark Linfield ini merupakan versi layar lebar dari serial Planet Earth yang dipadatkan dalam durasi kurang dari dua jam. Menyaksikan film ini, hanya satu kata yang terlontar: indah! Pengambilan gambar di udara, dataran beku dan berdebu, hingga dasar samudera, semuanya fantastis.

Kita diajak berwisata melihat beragam fauna di kawasan Arktik di Kutub Utara hingga Gurun Kalahari di Afrika. Dengan lama syuting mencapai lima tahun, film ini bisa menggambarkan migrasi dari keluarga hewan yang terancam punah oleh perubahan iklim. Beruang kutub yang tak lagi bisa mencari makan karena perubahan iklim yang tak diduga hingga kawanan gajah yang harus berjalan berminggu-minggu mencari seceruk air di padang nan gersang.

Pesan yang ingin disampaikan tetap sama. Akibat ulah manusia yang menerabas hutan tanpa aturan serta serapan air tanah yang tak terkendali, membuat alam tak lagi seimbang. Hutan tropis untuk menetralkan polusi tak lagi bisa diharapkan, sedangkan oase di tengah gurun makin sulit ditemukan.

Menyaksikan film ini kita disadarkan betapa selama ini manusia lupa kalau dia berbagi kehidupan di atas bumi dengan berbagai flora dan fauna. Sayang, kearifan yang tak dimiliki manusia turut merusak ekosistem flora dan fauna itu. Tercatat sebagai film dokumenter dengan biaya pembuatan tertinggi saat ini (lebih dari US$ 40 juta), Earth memang sangat sayang untuk dilewatkan.

Di awal 2009, sebuah film dokumenter tentang pemanasan global menambah lagi koleksi film di rak DVD saya. Film itu berjudul Home, hasil karya Yann Arthus-Bertrand, tokoh perfilman Prancis yang baru pertama kali mengambil peran sebagai sutradara. Tak jauh berbeda dengan Earth, film ini sebagian besar mengambil gambar dari udara.

Melalui film ini kita diajak berwisata ke 54 negara. Melalui gambar-gambar yang jernih, film ini berhasil memperlihatkan betapa tangan manusia telah membuat bumi tak lagi menjadi “surga” sebagaimana belum dijamah manusia. Pesatnya perkembangan industri telah membuat kulit bumi tergerus jauh ke dalam dan meninggalkan bukit, lembah, serta dataran yang bopeng tak berbentuk.

Di salah satu bagian dunia, kota-kota megapolitan hadir dengan bangunan-bangunan yang membuat banyak orang berdecak kagum. Mulai dari New York, Tokyo, hingga Dubai, saling berlomba membuat tangga menuju batas langit. Untuk membuat semua itu, dibutuhkan baja, semen, batubara, minyak, pasir dan kandungan mineral lainnya dalam jumlah tak pernah terbayangkan.

Sedangkan di belahan dunia lain, hadirnya megapolitan itu harus dibayar mahal dengan berubahnya ekosistem. Banyaknya sumber daya alam yang berpindah tempat untuk membangun menara pencakar langit di berbagai kota, telah menciptakan kerusakan yang tak tersembuhkan. Menyaksikan lanskap-lanskap di lima benua dalam film ini menciptakan kengerian dalam pikiran saya. Bumi ternyata tak lagi menjadi rumah yang nyaman.

Dari empat film di atas, saya menjadi bertanya pada diri sendiri; sampai kapan bumi bisa bertahan dari sifat rakus manusia dan apa yang akan terjadi jika bumi tak kuat lagi menanggung beban itu? Jawaban itu datang ketika pekan lalu saya masuk gedung bioskop dan menyaksikan karya Roland Emmerich berjudul 2012.

Meski Emmerich dikenal suka sekali menghancurkan kota-kota dan membuat manusia berlarian karena panik dalam beberapa film hasil karyanya, baru kali ini dia benar-benar menjadi perbincangan. Jauh dari perkiraan awal saya, Emmerich ternyata tidak banyak menyandarkan filmnya terhadap ramalan akan kiamat pada 21 Desember 2012 berdasarkan kalender Suku Maya itu. Ramalan itu hanya menjadi cantelan bagi film ini, dan tak lebih.

Emmerich tetap saja lebih suka “mengganggu” penontonnya dengan gambaran kehancuran demi kehancuran yang dialami oleh bumi serta beberapa manusia pilihan yang dibiarkan tetap hidup. Tidak ada yang baru sebenarnya dari penggambaran kehancuran dari kacamata Emmerich. Bumi bukanlah benda yang diam. Dia bisa berubah marah dan sulit dikendalikan dengan teknologi secanggih apa pun jika sudah tak kuat menanggung beban dosa manusia.

Pada akhirnya saya berpikir, tak perlu menunggu ramalan Suku Maya atau Nostradamus akan kiamat menjadi kenyataan. Kita juga tak perlu sibuk berdebat tentang benar atau tidaknya ramalan itu. Tanpa diramal pun, bumi ternyata memang tengah diambang kehancuran. Bukan ramalan yang membuat bumi tak kuat bertahan, sifat rakus manusia yang akhirnya membuat kiamat datang sebelum waktu yang telah ditetapkan Sang Pencipta.

Tanda-tanda ke arah itu hampir setiap hari datang ke hadapan kita. Lempeng bumi yang kini begitu suka bergoyang, musim hujan dan kemarau yang tak lagi mengikuti hukum alam, banjir di daerah kering dan kekeringan di pusat mata air. Hebatnya, semua yang terjadi saat ini sudah dituliskan Joseph Fourier dua abad silam. Sayang, manusia selalu alpa.

Sungguh memalukan kalau bumi akhirnya hancur karena kecerdasan manusia yang tak memiliki kearifan. Udara bersih, tanah yang subur, hingga kekayaan flora dan fauna kini hanya bernilai setumpuk uang. Organisasi pencinta lingkungan Greenpeace dengan jelas melukiskan hal itu dalam slogannya; When the last tree is cut, the last river poisoned, and the last fish dead, we will discover that we can’t eat money. Mungkin, hanya kiamat itu sendiri yang bisa menyadarkan manusia.


SUMBER: LIPUTAN 6

LEBIH MUDAH,LEBIH MURAH DAN LEBIH CEPAT


Tiga mantra itu diucapkan Dr. Takeshi Omori, Kepala Komite Ekonomi Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di penghujung pertemuan pejabat tinggi di Singapura Senin, 9 November. Kurang lebih setahun bekerja, tugas Komite itu memang untuk membuka jalan bagi pembicaraan tingkat menteri, yang dimulai besok. Dr. Omori berbicara cepat, namun jelas. Jika ingin lebih maju, maka reformasi dunia usaha di kawasan Asia Pasifik harus segera bergulir.

Mengutip data Bank Dunia, saat ini, jika seorang warga kawasan Asia Pasifik ingin memulai usaha –taruhlah Haji Syukron di Tangerang, Banten, atau Azmuddin di Johor Bahru, Malaysia— mereka perlu menyisihkan sedikitnya setengah dari penghasilannya. Ini tentu berisiko bagi keuangan pribadi, apalagi keluarga. Nah, salah satu rekomendasi Komite Ekonomi adalah menurunkan angka itu menjadi 25%. Harapannya, jika biaya memulai usaha lebih murah, maka orang akan lebih tergerak untuk melakukannya, dan pada akhirnya roda perekonomian akan bergerak lebih cepat.

Dampak langsung macam inilah yang coba dilakukan para perumus kebijakan dan peserta forum APEC tahun ini di Singapura. Tahun ini sekaligus merupakan ulang tahun ke-20 organisasi yang dulu bermula sebagai forum tingkat menteri, tapi sejak 1993 lalu berkembang ke tingkat kepala negara. Walau bersifat tak mengikat, namun keputusan yang disepakati diperlakukan sebagai komitmen, seperti di pertemuan Bogor tahun 1994, yang menghasilkan Deklarasi Bogor. Target pencapaian liberalisasi perdagangan dan investasi pada tahun 2010 bagi ekonomi maju dan 2020 bagi ekonomi berkembang masih jadi agenda APEC sampai hari ini. Para penganut paham regionalisme terbuka percaya betul, jalan terbaik untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menghasilkan kesejahteraan masyarakat Asia Pasifik adalah dengan meniadakan penghambat di antara negara-negara di kawasan ini.

Kepada harian The Straits Times edisi 9 November 2009, Menteri Luar Negeri Dr. Marty Natalegawa mengatakan, pascakrisis finansial global, keberadaan APEC penting untuk membatasi arus proteksionisme. Sebagai kekuatan ekonomi besar di Asia, Indonesia memang salah satu pendukung APEC.

Seperti Indonesia, Amerika Serikat pun tak pernah absen dalam pertemuan ini. Bahkan, APEC-lah satu-satunya pertemuan ekonomi regional di Asia yang dihadiri Presiden Amerika Serikat. Pascakrisis financial global, dibayangi kekuatan China yang terus membesar, di Singapura nanti, Presiden Barack Obama akan berusaha menegaskan kembali hubungan baik dengan Asia, terutama Asia Tenggara, yang terkesan dipinggirkan selama masa pemerintahan Bush. Khusus menyangkut Asia Tenggara, untuk pertama kalinya, seorang presiden Amerika Serikat menggagas KTT AS-ASEAN. Pertemuan direncanakan berlangsung di sela-sela agenda APEC di Singapura, sekaligus menekankan eksistensi organisasi ini.

Tapi belakangan, terutama pascakrisis ekonomi Asia 1997, muncul banyak pendapat yang kritis terhadap keberadaan APEC. Tak sedikit yang kecewa karena APEC tak berbuat banyak untuk menolong anggotanya saat itu. Belakangan, APEC juga dianggap tidak fokus, karena berusaha membahas terlalu banyak hal di luar kerjasama ekonomi, mulai dari terorisme sampai lingkungan. Bukan hanya itu, APEC juga dianggap termarjinalkan dalam banyak isu global, jika dibandingkan dengan organisasi multilateral lainnya, seperti G-20, atau pada tingkat regional, seperti ASEAN+3 (China, Jepang dan Korea Selatan) atau East Asia Summit (ASEAN+3+India, Australia dan Selandia Baru).

Maka sekarang, mereka yang mengkritisi keberadaan APEC akan menanti hasil konkrit pada puncak pertemuan tingkat kepala Negara 15 November nanti.

Sementara itu, arus peserta terus bergulir. Minggu ini saja, diperkirakan 10.000 orang akan memenuhi keenam lantai Suntec Convention Centre, tempat berlangsungnya pertemuan. Di luar gedung, para pendatang temporer ini tentu menambah sesak negara kota ini. Terlepas dari kontroversi pro-kontra paham regionalisme terbuka, ini hajatan besar bagi Singapura, dan mereka tidak main-main.

Singapura menyiapkan 20.000 tenaga panitia, berasal dari 40 kantor pemerintahan dan 330 perusahaan swasta. Selain itu, 1.700 tenaga sukarela juga disebar di berbagai penjuru kota untuk menyapa dan membantu delegasi dari negara lain. Senyum manis ditebar, souvenir dibagikan, bahkan begitu kami melangkah keluar dari pintu pesawat. Bahkan di pusat turis Orchard Road, mereka terlihat dimana-mana, sigap membantu.

Hari pertama dalam pekan pemimpin APEC (APEC Leaders Week), Singapura begitu bergairah dan penuh optimisme.

Koin, Simbol, dan Kuasa

Koin. Kata ini belakangan kerap jadi diskursus publik. Benda ini dihubungkan dengan Prita Mulyasari, wanita yang jadi ‘pesakitan’ gara-gara menulis surat elektronik (email) karena merasa diperlakukan tak sepatutnya oleh sebuah rumah sakit yang membubuhkan kata internasional di belakang namanya. Prita yang mendapat simpati dan dukungan luar biasa dari seluruh capres menjelang Pilpres lalu (di mana mereka kini?) diwajibkan membayar denda Rp204 juta oleh Pengadilan Tinggi Banten. Ini mengilhami sekelompok masyarakat menerbitkan gerakan yang disebut “Koin untuk Keadilan”. Misinya membantu meringankan beban Prita!

Inisiatif macam ini sebetulnya duplikasi dari gerakan koin yang kini makin meluas di sejumlah kota di tanah air, yakni “Coin a Chance” (CaC). Ini tak lain gerakan sosial mengumpulkan uang logam atau biasa disebut recehan yang belakangan makin jarang digunakan. Lebih jarang lagi karena bank sentral menerbitkan uang pecahan Rp2.000 (kertas) sebelum lebaran Idul Fitri lalu. Pecahan yang membuat rupiah kurang bernilai bagi warga miskin karena hanya bisa ditukar dengan dua buah kerupuk. Dengan koin yang dikumpulkannya, CaC berharap rupiah tersebut bisa ditukar dengan sebuah kesempatan bagi anak-anak yang kurang mampu agar dapat melanjutkan sekolah lagi.

Sejumlah hal menyambungkan gerakan ini. Pertama, mengubah suatu yang kurang berarti dan mulai ditinggalkan menjadi bernilai—untuk tak mengatakan bermakna. Di negeri ini masih berlaku koin senilai Rp 25. Apakah yang bisa dilakukan dengan duit segitu? Atau bisa ditukar dengan apa sekeping koin Rp 25?

Dalam sejarah republik, kita mengenal bentuk pecahan uang logam yang terbuat dari nikel, kuningan, alumunium hingga bimetal. Indonesia memiliki 15 jenis pecahan dari yang terkecil 1 sen hingga yang terbesar Rp 1.000. Pecahan 1 sen merupakan uang logam dengan pecahan terkecil yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, berbahan alumunium dan bertahun 1952 (www.uang-kuno.com). Nilai 1 sen atau 50 sen jelas tak serupa dengan angka yang tertera di atas tubuh koin tersebut. Sisi historis (kuno) tentu telah mengangkat nilai jual benda ini. Dan sudah pasti jika sen demi sen ditukar dengan rupiah, maka terbitlah sebuah harapan. Bahkan sebuah masa depan bagi sekian banyak anak-anak yang terlahir dari keluarga miskin.

Kedua, koin dalam gerakan di atas adalah simbol. Pada kasus CaC, jelas sebentuk solidaritas—keinginan berbagi pada sesama. Ia menggedor rasa iba manusia modern yang kian disetir spirit materialisme dan mungkin juga hedonisme. Sedangkan dalam kasus Prita, Koin mewujud sebagai solidaritas dan perlawanan sekaligus. Ya…karena Prita bagaimana pun adalah korban kuasa. Kekuasaan (yudikatif) yang gagal meletakkan keadilan di atas proses hukum formal.

Mungkin ditilik dari kelas sosial, Prita tak bisa disama dengan Sinar—bocah 6 tahun yang harus merawat ibunya, Murni yang menderita lumpuh. Bocah SD yang tinggal di Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini merelakan waktu bermainnya untuk mengurus sang ibu di tengah kondisi ekonomi keluarga yang minus. Sementara sang ayah sudah berbilang tahun di rantau dan tak berkirim kabar.

Prita sejatinya wakil kelas menengah kota yang melek media—dan karenanya tahu pasti dampak dari pemberitaan media. Boleh jadi Prita memiliki kuasa (ekonomi) dan mampu membayar denda yang dikenakan pengadilan dalam kondisi terpaksa dan mendesak. Yang jadi kepedulian publik bukanlah Prita mampu membayar denda itu atau bukan. Lebih dari itu, publik menaruh simpati padanya karena merasa keadilan yang terkoyak. Maka Prita dan koin pun menjadi simbol perlawanan publik. Jika kekuasaan memiliki daya paksa (karena dilengkapi senjata), maka publik hanya memiliki solidaritas, suara dan mungkin sedikit koin!

Itulah yang layak disyukuri kita semua. Solidaritas ternyata masih merebut perhatian dan memenuhi ruang-ruang percakapan publik, dari warung hingga televisi. Dan ketika solidaritas itu diikat sebagai gerakan moral yang terorganisasi, ia menampakkan diri sebagai benteng nurani.

Dalam spektrum seperti ini, bagi saya agak ganjil jika parpol pemenang pemilu 2009 lewat seorang ketuanya menyumbang Rp 100 juta kepada Prita yang dibelit perkara perdata dan pidana sekaligus. Mungkin ada yang memahaminya sebagai kepanjangan tangan solidaritas publik. Tapi, bisa pula dibaca sebagai cara memotong gerakan “Koin untuk Keadilan” yang makin mendapat dukungan luas. Hingga artikel ini ditulis lebih dari Rp 500 juta terkumpul untuk Prita. Itu berarti publik tak perlu meneruskan mengumpulkan koin lagi. Artinya jangan diharapkan gerakan ini sebesar gerakan sejuta dukungan untuk Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang hingga kini belum berakhir.

Saya justru takut jika parpol menyelinap dalam gerakan solidaritas publik. Sudah pasti, ia bakal menggencet ruang-ruang yang dibuka publik tersebut. Mengapa tidak bagi tugas saja? Parpol—apalagi pilar pemerintah—sudah pasti terhubung dengan kekuasaan. Dan jika ia peduli, mengapa ia tak mengusahakan keadilan untuk Prita di muka hukum?

Selasa, 22 Desember 2009

PT. Budi Pekerti
Plaza Indonesia, 2nd floor,
Unit 87, Jakarta
23 October 2009
Your Reff : -
Our Reff : 001

Mr. Fachrul Rizki Ramandha
Jalan Kelapa Dua Cimanggis
Depok

Dear Mr Ramandha

Interview

We have received your application letter for the posistion of Sales Cum Marketing Asistants in my company on 16 October 2009.
I invite you to come to the office for an interview on Monday 26 October 2009, start at 10.00 am. At conference room 2nd floor of the company building. I would like you to prepare for the interview well.
Thank you for your atention.



Your Faithfully



Fachrul Rizki R





Jalan Mangunsarkoro 139 Sindang laut
Cirebon

10 November 2009

The secretary
The Ajax Electriacal Ltd
Frenhall Drive Redbrige Essey
164 SBN

Dear Miss Watsons

Job, Application

In this letter, with reference to your advertisement in “Tke Jakarta Post” on Saturday, 27 November. I would like to apply for the English Language lecturs in your organization.

I’m 27 years of age, female and have just groudvaterd from the cultural sciences faculty of University of Gajah Mada with a very satisfactory grade average I have the ability of using French bath oral and writther and in operating computer of same programs related to the language works am willing to learn and work hard. I have my 2 years working in the same field.

Enclosed your will find my photographs ang curriculum vitae. Thanks your for you attention and your fully confideration of my application would the greatly appreciated.


Your sincerely


Fachrul Rizki Ramandha

Senin, 14 Desember 2009

PT. XYZ
STREET JENDRAL SUDIRMAN KAV. IV
JAKARTA 12190

Youreff :
ourreff : 0001

9 october 2009

To Personal Manager
Street Kartini Kav. 10
Jakarta 16720

Arange Interview
Dear sir,

By this letter i wish to advise you to arrange the interview for 10 applicants who applied for internal editor staffs.

Please arrange that interview on Monday, 12 October 2009 start form building 10.00am at conference room 2 floor of the XYZ company building.

At yours attention I mender thanks.


Yoursfaithfully



(Fachrul Rizki R)

ENC : -
CC : -