Koin, Simbol, dan Kuasa
Koin. Kata ini belakangan kerap jadi diskursus publik. Benda ini dihubungkan dengan Prita Mulyasari, wanita yang jadi ‘pesakitan’ gara-gara menulis surat elektronik (email) karena merasa diperlakukan tak sepatutnya oleh sebuah rumah sakit yang membubuhkan kata internasional di belakang namanya. Prita yang mendapat simpati dan dukungan luar biasa dari seluruh capres menjelang Pilpres lalu (di mana mereka kini?) diwajibkan membayar denda Rp204 juta oleh Pengadilan Tinggi Banten. Ini mengilhami sekelompok masyarakat menerbitkan gerakan yang disebut “Koin untuk Keadilan”. Misinya membantu meringankan beban Prita!
Inisiatif macam ini sebetulnya duplikasi dari gerakan koin yang kini makin meluas di sejumlah
Sejumlah hal menyambungkan gerakan ini. Pertama, mengubah suatu yang kurang berarti dan mulai ditinggalkan menjadi bernilai—untuk tak mengatakan bermakna. Di negeri ini masih berlaku koin senilai Rp 25. Apakah yang bisa dilakukan dengan duit segitu? Atau bisa ditukar dengan apa sekeping koin Rp 25?
Dalam sejarah republik, kita mengenal bentuk pecahan uang logam yang terbuat dari nikel, kuningan, alumunium hingga bimetal.
Kedua, koin dalam gerakan di atas adalah simbol. Pada kasus CaC, jelas sebentuk solidaritas—keinginan berbagi pada sesama. Ia menggedor rasa iba manusia modern yang kian disetir spirit materialisme dan mungkin juga hedonisme. Sedangkan dalam kasus Prita, Koin mewujud sebagai solidaritas dan perlawanan sekaligus. Ya…karena Prita bagaimana pun adalah korban kuasa. Kekuasaan (yudikatif) yang gagal meletakkan keadilan di atas proses hukum formal.
Mungkin ditilik dari kelas sosial, Prita tak bisa disama dengan Sinar—bocah 6 tahun yang harus merawat ibunya, Murni yang menderita lumpuh. Bocah SD yang tinggal di Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini merelakan waktu bermainnya untuk mengurus sang ibu di tengah kondisi ekonomi keluarga yang minus. Sementara sang ayah sudah berbilang tahun di rantau dan tak berkirim kabar.
Prita sejatinya wakil kelas menengah
Itulah yang layak disyukuri kita semua. Solidaritas ternyata masih merebut perhatian dan memenuhi ruang-ruang percakapan publik, dari warung hingga televisi. Dan ketika solidaritas itu diikat sebagai gerakan moral yang terorganisasi, ia menampakkan diri sebagai benteng nurani.
Dalam spektrum seperti ini, bagi saya agak ganjil jika parpol pemenang pemilu 2009 lewat seorang ketuanya menyumbang Rp 100 juta kepada Prita yang dibelit perkara perdata dan pidana sekaligus. Mungkin ada yang memahaminya sebagai kepanjangan tangan solidaritas publik. Tapi, bisa pula dibaca sebagai cara memotong gerakan “Koin untuk Keadilan” yang makin mendapat dukungan luas. Hingga artikel ini ditulis lebih dari Rp 500 juta terkumpul untuk Prita. Itu berarti publik tak perlu meneruskan mengumpulkan koin lagi. Artinya jangan diharapkan gerakan ini sebesar gerakan sejuta dukungan untuk Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang hingga kini belum berakhir.
Saya justru takut jika parpol menyelinap dalam gerakan solidaritas publik. Sudah pasti, ia bakal menggencet ruang-ruang yang dibuka publik tersebut. Mengapa tidak bagi tugas saja? Parpol—apalagi pilar pemerintah—sudah pasti terhubung dengan kekuasaan. Dan jika ia peduli, mengapa ia tak mengusahakan keadilan untuk Prita di muka hukum?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar